DumaiHeadlines.com – Di Swedia jangan coba-coba pamer kemewahan di muka publik. The Economist menulis undang-undang baru mengizinkan polisi menyita barang-barang mewah yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya dan bagaimana cara Anda bisa mendapatkan barang mewah itu.
Anda bisa distop polisi di jalan, diperiksa, ditanya asal-usul barang mewah yang Anda pakai. Jika Anda tidak bisa menjelaskan dengan wajar dan memuaskan, benda mewah itu bakal disita, saat itu juga. Tak peduli Anda anak siapa, jabatan Anda apa.
Seminggu setelah tanggal 8 November, ketika undang-undang mulai berlaku yang mengizinkan mereka menahan orang yang memamerkan barang-barang mewah, polisi Gothenburg melakukan 30 penangkapan. Seorang wanita tiba di bandara mengenakan jam tangan Rolex dan membawa uang tunai 1,5 juta kronor ($137.000) kena sita. Dia kena apes.
Pamer kekayaan sebenarnya penyakit kejiwaan (sindroma). Indonesia sepertinya jadi kebiasaan baru bagi beberapa orang. Apalagi, setelah banyaknya “crazy rich” muncul di berbagai platform media sosial yang saling berlomba menunjukkan gaya hidup mewah. Seseorang yang pamer harta biasanya disebut flexing.
Ini perilaku instingtif dalam menjalin relasi. Terutama dilakukan hewan. Umpamanya seekor merak akan memamerkan ekor indahnya untuk menarik perhatian lawan jenisnya.
Pada manusia dalam ilmu psikologi sosial menyebutkan bahwa memamerkan sesuatu yang dimiliki dilakukan untuk menunjukkan status sosial seseorang, dengan harapan lebih menarik di mata orang lain sehingga dapat memperluas pergaulan.
Dalam psikologi klinis perilaku flexing dikaitkan dengan rasa tidak aman (insecurity) yang dimiliki seseorang. Sehingga ada dorongan untuk memamerkan apa yang menurutnya unggul pada orang lain. Itulah sebabnya ada orang yang merasa tidak percaya diri datang ke pesta atau acara-acara tertentu jika tidak mengenakan barang yang bermerek, dan lebih nyaman jika datang mengenakan barang bermerek, karena adanya kekhawatiran tidak diterima atau dianggap rendah oleh orang lain.
Penelitian menunjukkan bahwa ketika seseorang memamerkan apa yang dimilikinya justru membuatnya menjadi sulit bergaul atau diterima oleh orang lain. Banyaknya komentar negatif pada konten media sosial yang berisikan perilaku flexing secara finansial juga berdampak meningkatkan konsumerisme. Karena perilaku belanja dilakukan untuk meningkatkan status sosial, bukan murni karena kebutuhan.
Orang-orang kaya di Indonesia –bukan orang-orang miskin– adalah problem sebenarnya bangsa ini. Namun soal kemiskinan justru lebih sering dibahas ketimbang bagaimana seseorang atau kelompok bisa menjadi kaya. Kemiskinan sering dikaji pemerintah tapi tidak pernah menghasilkan obat.
Banyak orang super-kaya di sini. Kelasnya bukan lagi miliarder, melainkan sudah triliuner. Menurut Forbes 2023, Indonesia ada di urutan 20 yang memiliki kelas super-kaya. Sekitar 10% rakyat kaya itu naik kekayaannya 40% sekitar Rp3924 T di 2023.
Kaum super-kaya ini sedikit diberitakan kena perkara oleh polisi-jaksa-KPK. Jika ada yang terkena paling-paling ia dapat vonis akhir ringan. Harvey Moeis kasus nikel masih proses peradilan. Surya Darmadi, pemilik PT Darmex Group/PT Duta Palma, pada tingkat kasasi dendanya dipotong MA Rp40 triliun, dari Rp42 triliun menjadi hanya Rp2,2 triliun.
Bandar besar judi online belum juga ditangkap. Mafia impor cuma kena operator. Laporan transaksi keuangan mencurigakan PPATK terhadap 100 caleg yang nilainya mencapai Rp 51,47 triliun hilang ditelan angin. Ada 14.575 transaksi sampai Mei 2024 yang jika diakumulasi menembus angka Rp600 triliun lebih. Pemain besar narkoba, penyelundupan dan masih banyak yang lain.
Hukum kita terkenal “tajam ke bawah, tumpul ke atas”. Kita sudah biasa mendengar kaum kaya memelihara aparat.
Kita rakyat tidak pernah tahu apa cerita persekongkolan penguasa-kaum super-kaya hari-hari ini. Yang kita tahu ±2000 ha lahan hutan di Merauke sedang dibabat oleh traktor-traktor Haji Isam, pengusaha kelas langit. Ada lagi tanah-tanah masyarakat di Banten yang dipaksa dijual murah untuk PSN PIK 2 Aguan.
Kita rakyat sebentar lagi menghadapi PPN 12%, terbesar se-ASEAN. Presiden Prabowo belum berani memajaki orang-orang kaya dengan pajak progresif.